Oleh : Kris Tan
11 Juni adalah ulang tahun istri saya. Menurut penanggalan Imlek (lunisolar) ia lahir 12/5/2535 Anno Confucius. Namun kami biasa menggunakan penanggalan Masehi untuk merayakan hari ulang tahunnya. Ia bermarga Gouw (吴 Wu). Mungkin masih sepupu jauh Goh Tjok Tong yang mantan Perdana Menteri Singapura itu. Karena leluhur mereka mungkin sama-sama dari Negeri Wu di Jaman Negara Berperang di Tiongkok sana.
Ulang Tahun sesungguhnya mengenang Ibunda kita yang bertaruh nyawa untuk melahirkan kita. Maka selebrasi ulang tahun memiliki makna agung untuk berterima kasih kepada ibunda kita. Saya baru pernah melihat langsung istri saya melahirkan ketika Zaoyang putera saya yang terkecil lahir ke dunia sekitar 11 bulan yang lalu. Sebab untuk proses kelahiran kedua puteri saya sebelumnya saya selalu saja tidak berada dirumah, selalu saja berbarengan dengan ada kerjaan dan acara di luar kota sungguh sedih. Maklum istri saya kalo melahirkan biasanya tidak terprediksi.
Saat Zaoyang akan dilahirkan saya ‘standby’ di sebelah istri saya. Saya melihat proses ia menjerit-jerit berjuang melahirkan Zaoyang. Betul kata Papah saya ketika istri melahirkan : “Kita laki-laki bisa apa? Tidak bisa apa-apa kecuali berdoa pada Yang Kuasa agar semua lancar”.
Maka papah saya berpesan jangan sekali-kali kita durhaka sama mamah, bayangkan kata dia lagi, darahnya saja kita minum (menyusui), rahimnya tempat kita berdiam selama 9 bulan diam didalam rahimnya diberi nutrisi oleh mamah. Jika mau makan mamah yang suapi dan jika kita mau berak, mamah juga yang ceboki. Pokoknya semua kalo tidak ada mamah kita laki-laki berat sekali melakukan apa-apa.
John Winston Lennon dalam lagunya yang berjudul ‘Mother’ betul-betul mengungkapkan betapa bersedihnya ia jauh dari mamahnya. Demikian juga lagu ‘Sio Mama’ dari Maluku sana sungguh indah menceritakan perjuangan seorang ibu. Itulah sebabnya juga mungkin istilah bahasa Indonesia banyak yang menggunakan dan mengagungkan Ibu. Sebut saja Ibu Kota, Ibu Pertiwi, Ibu Jari dan lain sebagainya.
Maka dari itu dalam tradisi Khonghucu posisi Ibu sangat istimewa. Baca saja kisah Ibu Confucius (Kongzi) yang begitu teguh mendidiknya lalu ibunda Mencius (Mengzi) dan Ibunda Yuefei yang bijaksana mengajarkan kepada anaknya rasa cinta negara. Mereka adalah Ibu-ibu hebat yang tercatat dalam sejarah.
Dalam teologi ‘Yin-Yang’ Perempuan seimbang dengan Laki-laki mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Itulah kenapa Zhangzai ilmuan Neo Confucian dinasti Song mengalogikan “Langit adalah ayahku dan Bumi adalah Ibuku” Kita hidup dari Bumi ini, bernaung dibawah kolong Langit ini. Maka kita semua umat manusia adalah bersaudara.
Tuduhan bahwa tradisi Khonghucu adalah feodal dan memposisikan perempuan dibawah laki-laki sungguh tuduhan yang keliru. Praktik-praktik didalam tradisi Tionghoa yang cenderung paternalistik sesungguhnya “Kesusilaan Terbalik” yang salah kaprah dan menyesatkan dalam tradisi Tionghoa dan praktik ini harus dilawan oleh generasi yang akan datang. Sejarah mencatat jaman dinasti Shang (1600-1046 SM) justru marga Tionghoa diberikan dari marga Ibu (maternalistik).
Praktik cenderung mengistimewakan laki-laki dalam tradisi Tionghoa menurut saya justru akibat kurang fahamnya kebanyakan orang-orang Tionghoa pada teologi Yin-Yang. Maka umat Khonghucu Indonesia sesungguhnya sangat progresif dimana sejak tahun 70-an dari di dalam ritual umat Khonghucu Indonesia sudah sangat terbiasa perempuan jadi ‘Imam’ memimpin upacara sembahyang Khonghucu pada posisi sama sederajat dengan laki-laki. Hal ini kita bisa lihat dalam rekaman sejarah berapa banyak perempuan yang telah menjadi Rohaniwan Khonghucu.
Ibu atau mamah saya memanggilnya adalah sosok terhebat dalam hidup saya. Tanpa mamah “saya mah cuma apa atuh, bubuk gorengan doang”. Kehebatannya dalam merawat kita menembus gerak Langit dan Bumi.
Wahai para anak-anak ketika ulang tahun doakanlah yang terbaik untuk ibumu, berbuatlah jangan sampai membuatnya khawatir, selalu sehatlah agar ibu menjadi nyaman dan tenteram. Dalam syair anak-anak Sekolah Minggu Khonghucu ada yang berbunyi ‘Ampunlah ibunda segala kesalahan yang pernah kubuat pada masa yang silam, ibu penuh kasih, sayang pada anaknya, merawat membimbing agar anaknya jaya…”
Dalam syair lainnya : “Jika anak dalam keadaan sakit, ayah ibu hatinya bingung, hati ayah tertindih bukit, rasa ibu terganjal gunung….”
Selamat ulang tahun Ny. Tan, semoga selalu hebat dalam merawat keluarga, selalu sehat dalam berkah Langit dan Bumi.
Ps:
Ada kisah Gusdur yang saya pernah ingat, saya merasa ini sebagi respon betapa ribet dan “bawelnya” para perempuan : “Suatu ketika ada aktivis perempuan berkumpul untuk mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Maka mereka mengajukan beberapa alternatif nama untuk LSM tersebut.
Maka terjadilah perdebatan sengit di antara sesama aktivis perempuan itu, terutama penggunaan kata “perempuan atau wanita” yang akan dijadikan sebagai nama. Hingga akhirnya perdebatan menemui jalan buntu alias ‘deadlock’
Akhirnya, beberapa aktivis perempuan tersebut menemui Gusdur untuk meminta saran. Dan kata Gusdur, kalau anda hanya ribut soal penggunaan kata “perempuan atau wanita” ya pakai saja “Betina”.
Kontan semua aktivis perempuan itu diam semua menahan tawa sambil berpikir “bener juga ya..?”.
(Kristan)