Oleh : Kris Tan
Vincentius Tan, agamanya Khonghucu, putera Bangka Belitung. Namanya mirip santo Katolik. Marganya sepertinya sama dengan saya yaitu Tan/Chen 陳 karena diletakan jelas sebagai nama belakangnya.
Ia Jebolan Akmil TNI AU 2019. Ia Kamis 11 Juli 2019 dilantik oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai perwira karier di Angkatan Udara.
Nama depannya Vincentius sekilas mirip nama salah satu Santo dalam agama Katolik. Ini fenomena unik dan saya menduga ini akibat masih adanya trauma ‘syndrome’ anti Cina akibat kebijakan orde baru yang keluar melalui Inpres 14/1967. Trauma ‘syndrome’ ini belakangan mulai pudar pasca Gusdur mencabut Inpres tersebut.
Bayangkan dulu ketika Orde Baru orang keturunan Tionghoa yang bermarga Oey (dibaca Wi) mengindonesiakan nama dibelakangnya dengan kata Wijaya, Winata, Wikarta dll. Contoh lain ia yang bermarga Tan menggantinya dengan kata Tanuwijaya, Tanusudibyo, Tanoto dll.
Demikian juga marga lain, orang Tionghoa memaksakan dengan mengindonesiakan tapi dengan ‘lafal’ yang mirip. Di Ternate saya menemukan nama seorang teman yang bermarga Ang lalu menambahkan nama dibelakangnya menjadi Angrek, misalnya Boy Angrek.
Saya lahir tahun 1982, Soeharto masih sangat kuat, walaupun papah saya termasuk orang sangat militan untuk urusan keyakinan ‘faith’ namun ia tetap berpikir jauh kedepan untuk mensiasati anaknya dikemudian hari agar tidak di diskriminasi maka ia memberi saya nama Kris Tan.
Cuma Kris-nya bukan Christ (Christus). Kris saya menurut papah saya maksudnya adalah ‘Keris’, sebuah simbol kebudayaan Jawa.
Padahal saya terlahir dengan nama Tan Taiyang. Itulah dampak ketika negara ikut campur soal ‘given’ yang diberikan Tuhan. Siapa yang mau di diskriminasi? Siapa yang mau di tuduh bukan Indonesia? Identitas adalah pemberian Tuhan yang asasi.
Dimana kita dilahirkan dimana kita jadi suku bangsa apa? Itu kita tidak bisa pilih, Itu adalah pemberian Tuhan yang tidak bisa kita ‘judicial review’.
Diskursus dalam komunitas filsafat menyatakan ‘Tuhan itu tidak pernah setuju kalau kita semua manusia menjadi sama. Maka Dia buat kita berbeda-beda’
Tuduhan ‘Tiongkok minded’, masih setia pada negeri leluhur adalah tuduhan keji yang dilakukan kaum rasisme.
Seandainya Tiongkok akan menjajah dan menyerang Indonesia, saya bisa pastikan Vincentius Tan, saya dan ‘pasukan saya’ di Generasi Muda Khonghucu Indonesia (GEMAKU) berdiri digaris terdepan bersama membela Indonesia. Kenapa? Karena Confucius a.k.a Zhisheng Kongzi selalu mengajarkan kepada kami umatnya “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’.
Belah dada kami maka ada Indonesia di sana, belah urat dan nadi kami maka Indonesia selalu disana, belah hati dan jantung kami Indonesia selalu bersemayam disana.
Bersama Lie Kim Hok, Yap Tjwan Bing, Jhon Lie dan para pejuang Indonesia lainnya kami selalu bertumpah darah Indonesia.
Siapapun yang menuduh kami bukan Indonesia maka sesungguhnya ialah yang bukan Indonesia. Karena negara ini dibangun dan dibentuk atas kesamaan senasib sepenanggungan bukan atas nama suku, ras dan agama.
Burung Garuda Indonesia akan selalu kokoh ketika kedua kakinya mencengkram semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika”. Jika itu terlepas disalah satu kaki burung Garuda maka Indonesia akan goyah akan jatuh tanpa gengaman yang kuat pada Bhineka Tunggal Ika.
Sambil agak ‘senewen’ saya menulis catatan ini. Semoga akan banyak Vincentius Tan lainnya. Merdeka!!!!!
居安备雅
10/6/2570 Anno Confucius
👍👍👍👍
Maju terus Kristan
Kita tidak dapat memilih tempat dan dari bangsa apa kita dilahirkan.
Bersyukur ada kesempatan.
Makin banyak Tionghoa masuk angkatan makin baik.
Sejak jaman dahulu telah banyak Tionghoa yg ikut berjuang untuk NKRI