Dari seluruh mahkluk hidup yang ada di Bumi nampaknya hanya manusia
sajalah yang paling tidak nyaman dan tidak bahagia ketika masa Pandemi
Covid-19 ini. Namun dalam ketidaknyamanan manusia ini justru
berbanding terbalik dengan mahluk bumi lainnya yang terlihat
berbahagia akibat dampak ini. Menurut foto-foto NASA Bumi tampak lebih
santai dan lebih biru karena hilangnya sebagian produktivitas manusia.
Para hewan mulai tampak berkeliaran tanpa cemas akibat manusia
sebagian berdiam diri dirumah karena kebijakan social distancing
global. Hal ini menjadi bahan renungan menarik bagi manusia religius
dalam memaknai segala ciptaan Sang Kuasa mengenail hak dan kewajiban
yang adil bagi seluruh mahluk ciptaan Tuhan. Maka menjadi menarik
untuk membuat tulisan renungan menurut Confucius tentang bagaimana
kita manusia melalui konsep tepa salira harus bersikap terhadap
fenomena ini.
Zilu adalah salah seorang murid Confucius yang terkenal gagah berani,
ahli beladiri dan orang yang suka berterus terang, namanya masuk dalam
kisah 24 anak Berbakti yang menjadi bacaan wajib bagi seluruh sarjana
Confucian dalam memahami konsep filial piety (berbakti kepada orang
tua). Zilu konon mampu bertarung melawan seekor harimau meskipun
dengan tangan kosong. Usianya terpaut 9 tahun dengan Confucius. Zilu
juga termasuk murid yang paling setia menemani Confucius dalam
pengembaraannya selama 13 tahun dalam menyebarkan ide-ide kaebajikan
untuk dunia.
Saat Zilu memutuskan mengikuti Confucius ke negara Wei, Zilu begitu
yakin bahwa potensi yang ada di negara Wei akan menghargai Confucius
dan merekrutnya sebagai pejabat pemerintah disana. Maka dengan
demikian Zilu membayangkan akan ikut membantu Confucius untuk mengabdi
di negara Wei untuk mewujudkan visi mulianya tentang menjalankan
sebuah pemerintahan yang baik. Namun ternyata apa yang dibayangkan
Zilu tidak terjadi. Hal ini tidak membuat mereka menyerah, mereka
terus berusaha mencoba kembali.
Pada perjalanan berikutnya mereka menuju ke arah selatan menuju ke
negara Song, namun tetap saja raja negara Song tidak mau merekrut
Confucius sebagai pejabat. Mereka terus mencoba dan mencoba lagi namun
selalu gagal. Mereka menjadi diabaikan, terlunta-lunta, diserang dan
pada akhirnya mereka sempat dalam kondisi kelaparan.
Confucius tanpa lelah selalu mengajarkan tentang jalan kebajikan bagi
orang berbudi, akan tetapi sampai kapan jalan ini akan pada sampai
tujuan? Pada sebuah kondisi kelaparan yang mereka alami. Zilu dengan
perasaan bersedih serta kesal memprotes kepada gurunya, Zilu bertanya, Apakah seorang berbudi akan mengalami nasib yang seperti ini?
Confucius menjawab dengan tenang, ya tentu saja siapapun bisa mengalami kejadian seperti ini, namun hanya orang yang rendah budi
saja pada saat seperti ini hanya bisa mengeluh dan marah-marah.
Saat ini ditengah Pandemi, kita mungkin pada posisi merasakan hal yang
sama seperti Zilu. Pandemi global Covid-19 menghantui kita semua, belum ditemukan obat dan vaksin untuk mengatasinya. Jutaan orang telah
meninggal dunia akibat dari ini dan tidak ada yang bisa mengetahui
kapan pandemi ini akan segera berakhir. Disekeliling kita orang-orang terisolasi dirumah mereka dan ketika kita mencari persedian makanan di
pasar dan supermarket semua menjadi terbatas dan bahkan sebagian dalam
keadaan kosong. Dalam menghadapi situasi ini maka menjadi sangat
penting untuk bersikap tentang menjadi orang yang mulia dan berbudi
luhur? Apa yang bisa ditawarkan Confucius untuk menghadapi keadaan
seperti ini?
Confucianisme bukanlah tradisi yang dibentuk oleh orang-orang yang
mencari jati diri dengan cara pesimis mundur dari dunia luar dan hidup
menyendiri di gua-gua dan bertapa untuk mencoba mencari jalan keluar
untuk mengatasi penderitaan dunia melalui lari dari kenyataan.
Confucianisme dibentuk oleh orang-orang yang optimis yang hidup dalam
situasi jaman perang, kelaparan dan kekacauan sosial. Mereka
mengembangkan ajaran mereka untuk orang-orang seperti kita menghadapi
tantangan pada masa sekarang. Jadi bagaimana saran Confucianisme
kepada kita dalam konteks sekarang?
Salah satu pesan utama Confucianisme adalah bersikap tepa salira
(zhong) pada setiap saat dalam kondisi apapun termasuk masa krisis.
Caranya ialah dengan melakukannya secara benar, dengan cara yang benar
sampai pada tingkat yang benar yaitu seperti menghindari kekurangan
pada satu sisi dan kelebihan disisi yang lain. Mereka yang merasa
kekurangan mudah dikenali pada saat ini. Mereka yang menjalani hidup
mereka seolah tidak ada yang berubah. Mereka yang tetap tidak peduli
berkumpul di restoran, tempat hiburan dan lainnya. Mereka juga
mengeluh tentang pembatalan liburan, acara keluarga dan lainnya.
Mereka mengkritik siapapun yang mengambil tindakan pencegahan sebagai alarm untuk mencegah pandemi. Mereka yang berkelebihan melakukan hal yang sama yaitu dengan cara menimbun masker, persediaan makanan dan menyebarkan hoaks yang tidak benar.
Dalam konteks ini bersikap tepa salira (zhong) ialah dengan cara
memperlambat dan mencegah penularan virus corona yang terus meningkat, caranya ialah dengan menjaga kesehatan, kebersihan dengan baik dan social distancing, membeli persediaan makanan dengan wajar yang hanya untuk kebutuhan yang sesuai lalu mendorong dan mengajak orang lain
untuk melakukan hal yang sama. Tapi mengapa orang masih saja banyak
yang bertindak tidak peduli terhadap himbauan ini? Hal ini adalah
karena kurangnya prinsip tepa salira yaitu “Apa yang diri sendiri
tidak inginkan, maka janganlah diberikan kepada orang lain”. Hal ini
maksudnya untuk menempatkan diri kita pada posisi orang lain dimana
berindak untuk kebaikan orang lain maka otomatis untuk bermanfaat bagi
diri sendiri. Mereka yang berkelebihan dengan menimbun barang memaksakan kesulitan pada orang lain dengan merampas hak mereka dari persediaan yang diperlukan. Mereka tidak mampu atau tidak mau menempatkan diri mereka ditempat orang lain. Mereka yang kekurangan juga tidak mau merubah perilakunya dengan tetap tidak peduli pada himbauan para ahli
kesehatan tentang social distancing yang bisa mempercepat penularan.
Tapi diantara meraka yang berkelebihan dan kekurangan mereka bukanlah
orang yang antisocial, mereka kadang teman kita, saudara kita, anggota
keluarga kita. Apa yang menyebabkan sikap mereka menjadi seperti itu?
Mungkin memang karena kurangnya informasi atau bahkan mendapatkan
informasi yang keliru. Namun dalam penjelasan psikologis hal ini
disebabkan karena “Jika seseorang dibawah pengaruh gairah, maka ia
akan keliru dalam tindakannya, dia yang berada didalam posisi tekanan
teror, dibawah pengaruh rasa suka, sedih, marah, kesusahan sehingga
ketika pikiran mereka dalam keadaan panik maka mereka bila melihat
sesuatupun akan tidak terlihat, mendengar akan tidak mendengar, makanpun sulit merasakan apa yang meraka makan, dengan kata lain mereka
terbawa emosi yang kuat dimana hati, pikiran dan perilakunya tidak
pada tempatnya.
Rasa takut dan kesusahan akan membuat mereka tidak bisa berpikir
jernih sehingga dalam mengabil keputusan akan menjadi kacau dan buruk. Hal ini bisa kita jadikan bahan renungan untuk diri sendiri. Kita
harus menyadari bahwa kita juga rentan terhadap kekuatan yang desktruktif dari nafsu kita sendiri. Kita bisa kehilangan akal ketika kita pada kondisi krisis sehingga ikut tersapu oleh sikap emosi yang kuat. Pertahanan terbaik dalam menghadapi hal ini ialah bersikap
seperti biasa yaitu tetap tenang dan waspada.
Fokuskan pikiran, hati dan tindakan kita dalam kendali kita sendiri. Virus, tindakan pemerintah, pengembangan vaksin dan perawatan sebagian
besar diluar kendali kita. Tindakan kita sendiri pada tahap tertentu
adalah pikiran kita sendiri selalu dalam kendali kita. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak mampu kita pengaruhi. Lebih baik fokuskan seluruh energi kita pada apa yang dapat kita lakukan untuk
membuat keadaan lebih baik.
Ketauhilah bahwa orang yang telah terjangkit dan para lansia adalah
yang paling rentan terhadap Covid-19. Mereka adalah nenek, kakek,
paman bibi atau teman-teman kita sendiri. Bentangkan perasaan
kepedulian kita untuk keluarga, teman dan orang lain, lakukan perilaku
kita sesuai dengan apa yang bermanfaat bagi mereka yang paling rentan.
Kita sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap orang lain lebih dari
apa yang kita sadari. Bahkan ketika dalam posisi kesusahan sekalipun
tetaplah fokus untuk memberikan contoh yang baik kepada orang lain
dengan bersikap tenang, wajar dan berbagi informasi yang dapat
dipercaya. Ingatkan diri kita dari semua peran yang kita mainkan dalam
hidup dan tentukan untuk menjalankannya sebaik mungkin dalam situasi seperti ini. Saat memiliki waktu lakukan praktik Qigong dan Jingzuo duduk diam mengharmoniskan hati, pikiran dan tindakan beberapa waktu untuk meningkatkan kesadaran spiritual kita.
Ketika kita merasa seperti dalam kondisi yang sama dengan Zilu, ingatlah bahwa kita selalu memiliki kewajiban untuk menjadi orang baik apapun kondisinya. Ketika kita sepenuhnya terlibat dalam karya kemanusiaan maka kita memiliki persiapan mental yang cukup tersedia
untuk tidak panik dan tertekan dalam posisi krisis sekalipun. Dan pasca Covid -19 ini tentunya akan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk lebih menghargai hubungan harmonis kita denga Pencipta, Alam Semesta dan sesama manusia.
Notes
“Orang berbudi mewujudkan tepa salira, orang rendah budi bertentangan
dengan tepa salira”
“Orang yang berbudi tidak berdiri dibawah tembok yang retak, ia selalu
waspada seolah-olah seperti berjalan pada lapisan es yang tipis)
“Orang yang pandai melampaui, orang yang “bodoh” tidak dapat mencapai”
“Orang berbudi melakukan apa yang pantas untuk posisi dimana dia
berada, dia tidak berhasrat untuk melampaui….dalam posisi kesedihan
dan kesusahan, dia melakukan apa yang pantas untuk pada posisi dalam
kesedihan dan kesusuahan”
“Adakah satu prinsip yang dapat dijadikan pegangan hidup kita
selamanya?”Confucius menjawab “itu adalah satya dan tepa salira, apa
yang diri sendiri tidak inginkan, maka janganlah dinerikan kepada
orang lain”
“Jika orang berbudi meninggalkan kemanusiaan, bagaimana mereka disebut orang berbudi? Seorang yang berbudi tidak meninggalkan kemanusiaan, bahkan disaat sedang makan, seorang yang berbudi berpegang teguh kepada kemanusian bahkan dalam keadaan bahaya (krisis) sekalipun”
(Analect 4.5)
‘Orang berbudi berhati lapang dan tenang, orang rendah budi berhati
sempit dan khawatir (Analect 7.37)
“Confucius berkata: “Ada tiga hal yang dimiliki sifat orang berbudi yang belum dapat kucapai, penuh rasa kemanusiaan sehingga tanpa merasa susah payah, bijaksana sehingga tidak bimbang dan ragu, memiliki keberanian sehingga tidak merasakan ketakutan (Analect 14.28)
27/3/2571 Anno Confucius