Oleh: Kristan
Kemarin 2 Februari 2020, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) merayakan Imlek Nasional yang ke 21 kali. Dengan sejarahnya yang panjang yang selalu dihadiri oleh seluruh Presiden RI sebagai simbol pengakuan negara terhadap umat Khonghucu Indonesia.
Dua tahun belakangan ini dalam kontek Indonesia dikenal dua Imlek Nasional, meminjam istilah perdagangan dalam barang elektronik yaitu, pertama Imlek KW alias bukan original yaitu Imlek yang ditulis dengan angka tahun 2020. Bagaimana mungkin Tahun Imlek ditulis dengan angka tahun Gregorian punya tradisi Masehi (Kristen)?
Sementara yang kedua adalah Imlek Original yang dihitung berdasarkan penanggalan Lunisolar yang dipakai oleh umat Khonghucu dan disebut dengan penanggalan Kongzili 2571.
Ironisnya satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah peduli pada Imlek Original adalah justru Presiden Jokowi. Sementara Presiden lainnya pasca reformasi mulai dari Gusdur, Megawati dan SBY selalu hadir di Imlek Original 2571.
Presiden Jokowi selalu pura-pura lupa dan tidak pernah mau menggubris Imlek Ori, bahkan Presiden Jokowi dalam dua tahun terakhir lebih memilih datang pada Imlek KW 2020 yang kehadirannya dipaksakan dua tahun belakangan ini untuk menyaingi keberadaan Imlek Original 2571.
Ibarat persaingan dagang Imlek KW digawangi oleh para Tionghoa non Khonghucu yang taglinenya mempromosikan Imlek sebagai hari raya etnis tionghoa. Sejak kapan di Indonesia mengenal hari nasional etnis? Bahkan etnis minoritas lagi!
Imlek di Indonesia jelas berbeda sejarahnya dengan Imlek di negara lain dan bahkan Imlek di Tiongkok. Imlek di Indonesia ialah Imlek yang bagi umat Khonghucu adalah sangat sakral dan religius. Di Indonesia, Imlek secara nasional pertama kali diprakarsai oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) karena memang sebagai hari raya agama Khonghucu. Karena memang Indonesia tidak pernah mengenal hari raya suatu golongan etnis atau suku tertentu.
Sehingga penetapan Imlek sebagai hari raya dikarenakan adanya pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia (sesuai dengan sikap PBB terhadap agama Khonghucu/Confucianism) dan sejarah di Indonesia membuktikan diantara organisasi-organisasi Tionghoa yang lainnya memang perlu diakui secara jujur dan terbuka bahwa MATAKIN-lah pionir (dengan bantuan Abdurrahman Wahid dan beberapa tokoh agama lainnya) yang sejak dahulu paling konsisten memperjuangkan persamaan hak-hak etnis Tionghoa dan agama Khonghucu pada khususnya walaupun dalam kukungan dan intimidasi rezim Orde Baru yang sangat diskriminatif itu.
Bahkan semua orang Tionghoa yang bukan beragama Khonghucu seolah-olah memusuhi dan mejauhi Imlek. Namun dalam era reformasi kenyataan menyakitkan itu menjadi berbalik arah. Sekarang semua orang Tionghoa Indonesia mengklaim bahwa Imlek adalah sebagai hari raya tahun barunya. Bahkan fenomena Misa Imlek di Gereja Katolik pun pada masa sebelum reformasi tidak akan kita temukan, tapi lihat sekarang pasca status Imlek di resmikan kembali maka banyak sekali kita temukan fenomena misa Imlek di kalangan beberapa teman Katolik.
Imlek bukan Tahun Baru Cina
Melihat kekeliruan informasi menyoal sejarah dan ilmu pengetahuan, penulis merasa “gregetan” dan sedih melihat tagline bahwa Imlek adalah Tahun Baru Cina. Untuk itu penulis merasa penting meluruskan kajian historis soal sejarah Imlek yang selama ini sudah kadung salah kaprah dan keliru bahkan berujung pada “pemerkosaan” terhadap ilmu sejarah tentang Imlek di Indonesia.
Hal ini semata-mata supaya ilmuan dan akademisi terhindar dari “kedunguan” ahistoris. Intinya agar disinformasi sejarah tidak selalu terulang.
Pada tahun 1912, Sun Yat Sen memproklamirkan berdiri Republik Tiongkok (Zhonghua Minguo). Sun Yat Sen yang berpendidikan barat awalnya menganggap ajaran Confucius (Khong Hu Cu) yang menjadi penyebab Tiongkok menjadi kolot sehingga kalah maju dari barat.
Maka Sun Yat Sen-lah yang memaksakan untuk mengganti Penanggalan Tiongkok (sistem lunisolar) dengan penanggalan Masehi (sistem solar) yang dianggap lebih modern. Sejak itu tahun baru di Tiongkok ditetapkan tanggal 1 Januari mengikuti penanggalan Masehi (Gregorian). Walaupun penanggalan resmi negara menggunakan penanggalan Masehi, rakyat di pedesaan dan bahkan di seluruh Tiongkok dalam prakteknya tetap tidak bisa meninggalkan penanggalan Tiongkok yang lebih komplit dan sesuai dengan cara hidup rakyat.
Karena itulah penanggalan Tiongkok (Xia-li) yang kini ‘tidak resmi’ ini diberi julukan sebagai ‘Nong-li’ yang secara harafiah berarti ‘Penanggalan Petani’ karena bulan-bulannya disesuaikan dengan perubahan musim.
Tahun 1949, Republik Rakyat Tiongkok (Zhonghua Renmin Gonghe-guo) yang diproklamirkan Mao Zedong juga secara resmi menggunakan penanggalan Masehi, artinya hari lahir RRT diperingati setiap tanggal 1 Oktober, bukan mengikuti tanggal dalam penanggalan Nong-li. Tapi karena penanggalan Nong-li tetap hidup di hati rakyat, lama kelamaan RRT yang komunis pun mau tak mau terpaksa menuruti kemauannya rakyat. Tanggal 1 Zheng-yue (nama bulan pertama) yang menjadi awal penanggalan Nong-li (Xia-li) tidak disebut ‘Tahun Baru’ tetapi disebut ‘Perayaan Musim Semi’ (Chun-jie).
Ini karena tahun baru resmi adalah tanggal 1 Januari dimana Presiden RRT juga memberikan pidato yang disebut pidato tahun baru. Fakta ini sekali lagi mematahkan pendapat bahwa tahun baru Tiongkok adalah merayakan awal musim semi.
Tiongkok yang mana? Sejak Sun Yat-sen, Mao Zedong sampai Xi Jinping semuanya tahun baru tanggal 1 Januari, hanya umat Khonghucu yang merayakan tahun baru pada 1 Zheng-yue, jadi Tahun Baru Imlek bukan Tahun Baru Tiongkok (China) tapi Tahun Baru Agama Khonghucu!
Kembali ke perhitungan tahun dari penanggalan Tiongkok, sejak jaman dinasti Zhou perhitungan tahun selalu diawali dengan naiknya kaisar baru dan diulang hitungannya begitu adanya pergantian kaisar. Seperti diatas disebut ‘Tahun ke 21 kaisar Zhou Ling Wang’. Umumnya begitulah cara penghitungan tahunnya, hingga pada dinasti Han, digunakan nama era, kalau di Indonesia mungkin setara dengan sebutan nama-nama ‘Kabinet’. Artinya sejak adanya ‘nama era’ seperti Jiankang, Jianning dsbnya, digunakan istilah Tahun ke 2 era Jiankang dan seterusnya dan tidak lagi mengikuti nama kaisar yang berkuasa. Ini karena pada 1 masa pemerintahan seorang kaisar, dia bisa mengubah ‘nama era’ atau nama kabinet pemerintahannya.
Pada masa dinasti Qing, nama era ini lebih terkenal daripada nama resmi kaisar. Contoh kaisar Kang Xi ini sebenarnya adalah nama eranya. Nama kecil kaisar Kang Xi ini adalah Aixin Jueluo Xuanye dan gelar anumertanya Qing Shengzu. Kangxi adalah nama eranya. Tapi kita terlanjur lebih akrab dengan sebutan kaisar Kangxi.
Contoh yang lebih jelas mungkin kaisar Ming Cheng Zu yang menugaskan Laksamana Zheng He hingga sampai ke Indonesia. Dalam pelbagai buku masih sering disebut sebagai Kaisar Ming Cheng Zu, nama eranya adalah Yongle, dan banyak juga buku yang menyebut kaisar Yongle永樂 .
Hingga Sun Yat-sen mendirikan Republik Tiongkok, sistem perhitungan tahun ini tetap dipakai yakni tahun 1912 adalah tahun ke 1 Minguo (artinya Negara Republik). 1913 adalah tahun ke 2 Minguo dan seterusnya. Saat Mao Zedong mendirikan RRT, sistem perhitungan tahunnya diulang lagi. Tahun 1949 adalah tahun ke 1 Gonghe-guo (artinya Negara Republik Rakyat).
Jadi kapan munculnya angka 2571 Kongzili? Perhitungan tahun Minguo (yang sekarang tetap dipakai Taiwan) dan Gongheguo (yang sekarang dipakai RRT) tentu akan menimbulkan masalah jika orang Tionghoa di Indonesia yang menggunakannya. Bisa-bisa dituduh pro atau ngeblok ke salah satu pihak, lebih celaka jika disebut tidak nasionalis, Warga Negara Indonesia kok pakai tahunnya negara lain.
Untungnya tokoh-tokoh agama Khonghucu Indonesia sudah memikirkan hal itu jauh-jauh hari. Dimana pada tahun 1880, Tjioe Ping Wie dengan bantuan Ong Wan Liong, Go Gwan Swie dan Yap Sik Kie menyebarkan gagasan penggunaan sistem kalender berdasarkan tahun kelahiran Khonghucu yaitu tahun 551 SM. Pada awalnya, gagasan tersebut disebarkan di kalangan pemimpin komunitas Tionghoa peranakan dan orang-orang Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang di Surabaya.
Mereka memulainya dengan mencetak sebanyak sepuluh ribu lembar kalender di Shanghai. Kalender tersebut dibagikan pada orang-orang Tionghoa di Surabaya, maupun toko-toko ternama di Jawa. Gagasan tersebut menunjukkan bahwa pemakaian sistem kalender berdasarkan tahun kelahiran Confucius (Khong Hu Cu) telah lebih dulu dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya sebelum Kang Youwei mengusulkan hal yang sama pada Kaisar Guangxu pada tahun 1898.
Tahun 1898 Kang Youwei atas perintah kaisar Guangxu memulai sebuah reformasi dan salah satu tindakannya adalah menganjurkan penggunaan kalender Kongzili (Anno Confucius) yakni penanggalan Xia-li seperti ajaran Confucius dan perhitungan tahunnya didasarkan pada tahun kelahiran Confucius. Tapi reformasi ini disabotase oleh Ibusuri Cixi dan hanya berusia 100 hari sehingga gagal pula penggunaan kalender Kongzili di Tiongkok.
Meskipun begitu penggunaan kalender Kongzili tetap populer dan bahkan paling sesuai dengan orang Tionghoa yang tinggal di luar negeri (perantauan) Tiongkok.
Patut dicatat bahwa usaha tokoh agama Khonghucu ini dilakukan jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia. Jadi tidak ada latar belakang politik dalam penggunaan kalender ini, juga tidak ada latar belakang ingin disebut penanggalan tertua di dunia (jauh lebih tua dari penanggalan masehi), justru melulu karena alasan keagamaan yakni mengikuti ajaran Confucius!
Yang menyedihkan adalah orang yang tidak tahu apa-apa lalu ikut-ikutan mengklaim punya penanggalan sendiri, jauh lebih tua dan angka tahunnya lebih besar dari penanggalan Kongzili hanya karena ingin ‘melebihi’ Confucius.
Istilah ‘Imlek’ ada yang menyebut hanya ada di Indonesia, tapi di Tiongkok tidak ada. Ya jelaslah karena huruf abjad I-m-l-e-k, kalau di Tiongkok harusnya huruf Hanzi.
Para ahli bahasa ini sendiri bisa menyebutkan bahwa Imlek adalah lafal hokkian dari istilah ‘Yinli’, bukankah ini artinya Yinli=Imlek dan dengan begitu dikenal juga di Tiongkok?
Imlek sebenarnya singkatan dari Imyang-lek, dan kebiasaan menyingkat memang sering dilakukan dalam tulis menulis huruf hanzi.
Ketika tahun 1912, Sun Yat-sen memaksakan pemakaian penanggalan Masehi (Gregorian), orang Tiongkok menyebut penanggalan baru ini sebagai Yang-li untuk membedakannya dengan penanggalan lama yang disebut Yinyang-li dan sering disingkat sebagai Yinli.
Saat itu penanggalan Islam yang murni menggunakan sistem lunar tidak begitu diperhatikan/jarang digunakan di Tiongkok sehingga kata Yinli sudah cukup untuk menyebut Yinyang-li. Ini seperti kata ‘rou’ (daging) yang dalam lafal Hokkian disebut ‘Bak’ di Indonesia dulu sering diasosiasikan sebagai ‘Daging babi’. Maka Bakpau, Bakwan dan bak-bak lain itu selalu identik dengan daging babi. Setelah pengaruh Islam menguat dan persoalan haram-halal diperhatikan, akhirnya kata ‘rou’ tidak lagi identik dengan daging babi, tapi daging hewan apa saja.
Pada perkembangannya di Tiongkok, penanggalan Masehi yang umum digunakan disebut sebagai ‘Gong-li’ sedangkan penanggalan Xia-li menggunakan istilah ‘Nong-li’. Sejak itu di Tiongkok lebih digunakan umum dipakai istilah ‘Nong-li’ ketimbang ‘Yin-li’, apalagi negara-negara Islam juga tidak mau kalah dengan penanggalan masehi dan memajukan penanggalannya sendiri, maka istilah ‘Yin-li’ di Tiongkok kini digunakan untuk penanggalan sistem lunar, bukan luni-solar saja.
Di Indonesia istilah Imlek itu sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Jelas Imlek mengacu pada penanggalan Tiongkok yang luni-solar.
Saking seringnya disebut Imlek, orang sampai lupa kalau itu adalah singkatan dari Imyang-lek. Jika ditinjau dari arti kata, maka Imlek lebih ‘tepat’ untuk menyebut penanggalan Hijriah yang murni sistem lunar. Karena itulah ada upaya untuk memperkenalkan istilah ‘Kongzili’ atau disingkat ‘Kongli’ untuk menyebut penanggalan Xia-li.
Istilah ‘Xia-li’ juga kembali populer akhir-akhir ini gara-gara orang banyak mempelajari ilmu Fengshui.
Padahal dalam penggunaannya ‘Nong-li’ sama saja dengan ‘Xia-li’, namun fengshui identik dengan petani di sawah? Agar terlihat lebih intelek maka dipaksakan menggunakan istilah ‘Xia-li’ dengan menekankan bahwa tahun baru (awal musim semi)-nya selalu tetap tanggal 4/5 Februari dan bukan 1 Zhengyue seperti Nong-li.
Penulis tidak yakin orang dinasti Xia selalu tahun baruan tanggal 4/5 Februari, jadiistilah ‘Xia-li’ menjadi tidak cocok. Siapapun diundang merayakan kebaikan Imlek dari manapun asal usulnya.
Karena semangat Imlek adalah semangat religiusitas dan spiritualitas untuk memperbaharui diri menjadi lebih baik untuk memnausiakan manusia, menjadikan orang berkumpul, bersuci diri dan bersyukur kepada Pencipta atas berkah yang diterima sepanjang Tahun.
09/02/2571 Anno Confucius
Terima Kasih pencerahannya Bro..
Siap ko Boby. Terima Kasih banyak dukungannya