23 Februari menurut penanggalan Masehi adalah merupakan hari ulang tahun saya. Menurut penanggalan Imlek (lunisolar) saya lahir pada 2/2/2533 Anno Confucius (Kongzili). Namun kami biasa menggunakan penanggalan Imlek untuk merayakan hari ulang tahun saya.
Kenapa? Karena sangat mudah mengingatnya dimana saya lahir berbarengan dengan perayaan hari lahir Shen Ming Fu De Zheng Shen (Sin Beng Hok Tek Ceng Sin), menurut mamah saya, saya ‘ngebrojol’ melihat dunia persis jam 9 malam dan ketika tambur Bio Hok Tek Ceng Sin Pasar Lama Cibinong bertalu-talu sedang merayakan ‘Shejit Sin Beng Hok Tek Ceng Sin’.
Mamah saya dapat dengan jelas mendengar tambur Bio Kelenteng tersebut karena rumah sakit tempat saya dilahirkan yaitu di Rumah Bersalin Tunas Jaya Pasar Cibinong, jaraknya hanya 300 meter dari Kelenteng Hok Tek Bio Pasar Lama Cibinong.
Tahun ini 23 Februari 2020 hanya selisih satu hari dengan penanggalan Imlek yaitu tanggal 2 bulan kedua tahun 2571, jadi pada tahun ini hari ulang tahun saya berdasarkan penanggalan Masehi hanya berselisih satu hari dengan penanggalan Imlek.
Menurut penanggalan Imlek pada tanggal 2 bulan kedua juga merupakan hari lahirnya Mencius (Mengzi) Sang Penegak (Ya Sheng) dalam tradisi kaum Ru pada zaman Negara Beperang di Tiongkok sana.
Bukan bermaksud ‘gede rasa’ alias ‘GR’ mungkin karena lahir berbarengan dengan Mencius saya punya sifat-sifat keberanian Mencius yang selalu berani mengungkapkan kebenaran tanpa ragu. Seperti analogi Sup Ikan dan Tapak Beruang yang diutarakan Mencius. Dalam hati sambil berdoa dan berharap semoga saya juga punya “hoki” yang bagus seperti Mencius.
Ulang Tahun sesungguhnya mengenang kehebatan Ibunda kita yang bertaruh nyawa untuk melahirkan kita. Maka selebrasi ulang tahun memiliki makna agung untuk berterima kasih kepada ibunda kita.
Saya baru pernah melihat langsung istri saya melahirkan ketika Zaoyang putera saya yang terkecil lahir ke dunia sekitar 16 bulan yang lalu. Sebab untuk proses kelahiran kedua puteri saya, sebelumnya saya selalu saja tidak berada dirumah, selalu saja berbarengan dengan ada ‘tugas negara’ dan acara di luar kota sungguh sedih. Maklum istri saya kalau melahirkan biasanya waktunya sulit untuk bisa diprediksi.
Saat Zaoyang akan dilahirkan saya ‘standby’ di sebelah istri saya. Saya melihat proses ia menjerit-jerit berjuang melahirkan Zaoyang. Betul kata Papah saya ketika istri melahirkan : “Kita laki-laki bisa apa? Tidak bisa apa-apa kecuali berdoa pada Yang Kuasa agar semua lancar”.
Maka papah saya berpesan jangan sekali-kali kita durhaka sama mamah, bayangkan kata dia lagi, darahnya saja kita minum (menyusui), rahimnya tempat kita berdiam, selama 9 bulan diam didalam rahimnya diberi nutrisi oleh mamah. Jika mau makan mamah yang suapi dan jika kita mau berak, mamah juga yang ‘ceboki’. Pokoknya semua kalo tidak ada mamah kita anak-anak berat sekali untuk bisa melakukan apapun.
John Winston Lennon salah satu member The Beatles dalam lagunya yang berjudul ‘Mother’ alias ‘Emak’ betul-betul mengungkapkan betapa bersedihnya ia jauh dari mamahnya. Demikian juga lagu ‘Sio Mama’ dari Maluku sana sungguh indah menceritakan perjuangan seorang ibu. Itulah sebabnya juga mungkin istilah bahasa Indonesia banyak yang menggunakan dan mengagungkan Ibu. Sebut saja Ibu Kota, Ibu Pertiwi, Ibu Jari dan lain sebagainya.
Maka dari itu dalam tradisi Khonghucu posisi Ibu sangat istimewa. Baca saja kisah Ibu Confucius (Kongzi) yang begitu teguh mendidiknya lalu ibunda Mencius (Mengzi) dan Ibunda Yuefei yang bijaksana mengajarkan kepada anaknya rasa cinta negara. Mereka adalah Ibu-ibu hebat yang tercatat dalam sejarah.
Dalam teologi ‘Yin-Yang’ posisi Perempuan seimbang dengan Laki-laki mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Itulah kenapa Zhangzai ilmuan Neo Confucian dinasti Song mengalogikan “Langit adalah ayahku dan Bumi adalah Ibuku” Kita hidup dari Bumi ini, bernaung dibawah kolong Langit ini. Maka kita semua umat manusia adalah bersaudara.
Tuduhan bahwa tradisi Khonghucu adalah feodal dan memposisikan perempuan dibawah laki-laki sungguh tuduhan yang keliru. Praktik-praktik didalam tradisi Tionghoa yang cenderung paternalistik sesungguhnya “Kesusilaan Terbalik” yang salah kaprah dan menyesatkan dalam tradisi Tionghoa dan praktik ini harus dilawan oleh generasi yang akan datang. Sejarah mencatat jaman dinasti Shang (1600-1046 SM) justru marga Tionghoa diberikan dari marga Ibu (maternalistik).
Praktik cenderung mengistimewakan laki-laki dalam tradisi Tionghoa menurut saya justru akibat kurang fahamnya kebanyakan orang-orang Tionghoa pada teologi Yin-Yang.
Maka umat Khonghucu Indonesia sesungguhnya sudah sangat progresif dimana bahkan mungkin sejak MATAKIN berdiri di dalam ritual umat Khonghucu Indonesia sudah sangat terbiasa perempuan jadi ‘Imam’ memimpin upacara sembahyang Khonghucu pada posisi sama sederajat dengan laki-laki. Hal ini kita bisa lihat dalam rekaman sejarah berapa banyak perempuan yang telah menjadi Rohaniwan Khonghucu.
Ibu atau mamah saya memanggilnya adalah sosok terhebat dalam hidup saya. Tanpa mamah ‘kita mah cuma apa atuh, bubuk gorengan doang’. Kehebatannya dalam merawat kita menembus gerak Langit dan Bumi.
Wahai para anak-anak ketika ulang tahun doakanlah yang terbaik untuk ibumu, berbuatlah jangan sampai membuatnya khawatir, selalu sehatlah agar ibu menjadi nyaman dan tenteram. Dalam syair anak-anak Sekolah Minggu Khonghucu ada yang berbunyi ‘Ampunlah ibunda segala kesalahan yang pernah kubuat pada masa yang silam, ibu penuh kasih, sayang pada anaknya, merawat membimbing agar anaknya jaya…”
Dalam syair lainnya : “Jika anak dalam keadaan sakit, ayah ibu hatinya bingung, hati ayah tertindih bukit, rasa ibu terganjal gunung….”
Selamat ulang tahun diriku, semoga selalu hebat dalam merawat keluarga, tidak keluh gerutu kepada Tian Shang Di YME, tidak sesal penyalahan kepada sesama, melainkan terus bisa belajar dari tempat rendah ini terus maju menuju tinggi menempuh Jalan Suci dan juga selalu sehat dalam berkah Langit dan Bumi. Shanzai
Saatnya makan Cah Mie Goreng dan Telur Merah seperti tradisi yang sudah dilakukan oleh Zhuge Liang (Kong Ming) sejak dari jaman Sam Kok (San Guo).
Singapur (Sisi Gunung Kapur)
1/2/2571 Anno Confucius
居安备雅