Oleh : Kris Tan
Pagi ini saya terbang menuju Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai KAICIID Fellows saya wajib menghadirinya. Karena ada ‘Assessing KAICIID’s Programmes’ disana. KAICIID adalah singkatan dari King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue, KAICIID merupakan lembaga yang fokus pada pelatihan agen-agen ‘interreligious’ dan ‘intercultural’ dialog. Dimotori oleh pemerintah Arab Saudi, Austria, Spanyol dan Vatikan.
Saya lulusan KAICIID Fellowship 2016-2017. Berbeda angkatan satu tahun dengan mbak Alissa Wahid yang komandan Gusdurian itu. Cuma ketika di inagurasi di Viena, Austria akhir 2016 lalu kami berbarengan berjumpa disana. Awalnya saya satu-satunya agen yang berlatarbelakang Khonghucu sampai 2019 baru ada tambahan baru yang Khonghucu yaitu Ws. Mulyadi yang saya rekomendasikan untuk mendaftar pada program ‘fellowship’ 2019.
Pengalaman ketika menjadi ‘agen’ KAICIID sangat menarik pertama kami diberikan pelatihan selama 3 minggu di Davao City, Philipina. Kami para ‘fellowship’ diberikan kursus tentang bagaimana melakukan tehnik-tehnik keren dan memukau untuk bagaimana menjadi agen perdamaian yang berbasis lintas agama dan lintas budaya. Saat di Philipina sana KAICIID bekerjasama dengan Mindanao Peacebuilding Institute (MPI). Tiga bulan setelah di Mindanao kami melanjutkan pelatihan di Markas Besar KAICIID di Austria selama 10 hari. Sisanya pelatihan kami yang selama setahun dilakukan dengan konfrensi jarak jauh tiap beberapa waktu dengan para ahli dialog antar agama dan perdamaian.
Dialog antar agama dan berkeyakinan menjadi sangat penting sekali untuk mewujudkan perdamaian. streotyping, prejudice, prasangka negatif antar orang yang berbeda keyakinan dan budaya karena tidak saling mengenal dengan baik satu sama lain, menjadi momok salah satu faktor sulitnya untuk memulai dialog antar agama. Padahal menurut pengalaman saya jika hal ini bisa dilakukan dengan cara yang saling terbuka dan sikap positif maka kesenjangan SARA akan sangat bisa direduksi dengan baik. Kita saling curiga dan berpikir negatif kepada pihak lain ialah karena memang kita tidak saling mengenal dengan baik satu sama lain.
Soekarno sangat hebat ketika merumuskan lambang Garuda Pancasila dimana kaki burung Garuda mencengkram dengan kuat kalimat “Bhineka Tunggal Ika”. Sukarno tahu persis jika kaki burung Garuda tidak mencengkram kata berbeda-beda tapi tetap satu, maka sang Garuda akan goyah dan ‘jingjit’ sebelah. Itulah kenapa jika Indonesia mau kuat dan besar. Maka Bhineka Tunggal Ika harus dicengkram kuat oleh kita semua sesama bangsa Indonesia.
Saya membayangkan KAICIID Fellowship kedepan akan selalu konsisten dimana setiap tahun para agen KAICIID diseluruh dunia berkumpul untuk memastikan agenda-agenda dialog antar agama dan budaya akan selalu terkawal dengan baik dan berkelanjutan dengan melobatkan seluruh elemen masyarakat di akar rumput. Sebab jujur saja banyak akademisi mengkritisi gerakan dialog antar agama dan budaya hanya menjadi konsumsi elit dan para pemimpin agama saja, sementara masyarakat akar rumput yang memang berkonflik langsung dibawah secara horisontal seringkali tidak tersentuh.
So Kuala Lumpur here i come, mari kita ‘hajar’ itu Nasi Lemak dan Teh Tarik dengan Nikmat.
(Kris Tan)
Terminal 3 Soekarno Hatta, menunggu ‘Garuda’ yang akan terbang membawa saya ke Malaysia pagi ini.