Oleh : Kris Tan
Pagi ini sambil menunggu waktu balik ke Jakarta sore nanti. Saya berkunjung ke Chan See Shu Yuen Temple (陈氏书院) di Petaling Street, Kuala Lumpur. Kelenteng ini adalah kelenteng leluhur marga Chan, Chen atau Tan (陈). Marga saya sendiri yang leluhurnya dari Fujian (Hokien) sana. Tapi jangan lupa dari garis nenek buyut saya yang bernama Nyi Irah saya juga merupakan keturunan Pangeran Sake yang merupakan leluhur orang asli Citereup, bahkan jika ditarik lebih atas lagi saya mungkin masih keturunan sultan Agung Tirtayasa dari Banten karena ada garis dari Pangeran Sake. Kalu tidak salah Gusdur pernah juga mengklaim bahwa ia adalah keturunan Tionghoa dari garis Jin Bun a.k.a Raden Patah.
Dalam tradisi Khonghucu tidak dikenal batas negara ataupun dari mana asal-usulnya seorang individu. Confucius mengajarkan dengan tegas bahwa, “yang mampu membuat seorang manusia bisa selamat adalah bagaimana ia mampu meningkatkan kualitas kemanusiaannya (humanity).
Confucius juga mengatakan, “dimana engkau hidup dan mendapat berkah maka disitulah engkau wajib mengabdi”. Maka dari itu Confucius mendidik para muridnya untuk menjadi birokrat unggul, agar mampu mengabdi dimanapun untuk dapat mewujudkan cita-cita mulia Confucius yaitu ‘The Great Unity (Da Tong)’ dimana dilukiskan ketika Confucius menjadi Perdana Menteri di negara Lu, keadaan disana terwujud dengan: “Membahagiakan orang-orang lanjut usia, masyarakat yang saling jujur dan dapat dipercaya, serta mendidik para generasi muda dengan pendidikan yang baik”.
Konon di bumi ini baru Singapura yang mengarah pada perwujudan itu. Maka banyak ‘sinolog’ yang mengatakan bahwa Singapura adala sebuah negara Confucian.
Masyarakat Khonghucu di Indonesia hendaknya melakukan yang terbaik bagi Indonesia karena Indonesia adalah ‘Ibu’ mereka. Prinsip “dimana langit dijunjung dan disitu bumi dipijak” harus menjadi prinsip utama masyarakat Khonghucu Indonesia.
Masyarakat Khonghucu dan Tionghoa Indonesia tidak usah ragu-ragu dalam membina negara dan bangsa Indonesia karena memang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari negeri ini.
Masyarakat Khonghucu dan etnis Tionghoa Indonesia haruslah merasa benar-benar at home di negara ini. Mereka harus aktif menangkis tuduhan-tuduhan yang tidak adil sesuai tugas dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Indonesia adalah surga bagi masyarakat Khonghucu dimana pasca reformasi, khususnya perhatian Presiden Gusdur pada masyakat Khonghucu untuk mengangkat posisinya sama dengan agama lainnya di republik ini. </span;>
Memang akhir-akhir ini pasca reformasi Presiden Jokowi akan dicatat sejarah sebagai Presiden paling ‘rese’ sikapnya terhadap umat Khonghucu. Bayangkan dia satu-satunya Presiden Indonesia pasca era reformasi yang tidak pernah sama sekali mau hadir pada perayaan Imlek umat Khonghucu, padahal ia selalu diundang resmi, ada suatu kali tahun 2017 lalu, ia malah lebih memilih menonton film Dylan daripada menghadiri Imlek umat Khonghucu yang diadakan MATAKIN.
Presiden Jokowi juga menghilangkan isi Perpres no. 135/2014 tentang Ditjen Khonghucu yang sebenarnya sudah di cantumkan di masa Presiden SBY. Namun Jokowi malah membuat Perpres baru no. 83/2015 yang justru pasal nomenklatur menyoal Ditjen Khonghucu menjadi hilang di Perpres yang ia keluarkan.
Dalam kontek ini, agak ‘kebelinger’ juga ini Presiden Jokowi. Tapi masyarakat Khonghucu selalu menganggap pemimpinnya sebagai pemegang Mandat Langit (The Decree of Heaven), ia dianggap sebagai ‘Putera Tuhan’ yang menjadi pemegang Mandat dari Langit yang diwujudkan melalui pilihan rakyatnya.
Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang menurut saya dikutip oleh pribahasa latin yaitu “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Karena Mencius (372-289 SMM) yang merupakan penerus Confucius, dalam bukunya mencatat ini jauh sebelum peribahasa itu dipopulerkan.
Kekeliruan soal sikap Jokowi yang kurang responsif terhadap masyarakat Khonghucu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa saja oleh masyarakat Khonghucu. Mereka bisa maklum sebab mungkin pikir mereka hal ini hanya karena para penasehat dan orang disekeliling presiden tidak memahami kontek sejarah perjuangan masyarakat Khonghucu di Indonesia.
Saya melihat tidak ada satu pun umat Khonghucu yang ‘keki’ atau kesal pada Jokowi soal sikapnya yang ‘cuek’ pada umat Khonghucu.
Hanya saya sendiri saja dan beberapa teman dari Gemaku yang merasa sok jadi ‘pahlawan kesiangan’ yang agak sering menulis berusaha mencoba menggugah hati Jokowi. Namun apa mau dikata Jokowi tetap ‘cuek’ soal itu. Sambil dalam hati tertawa. Emangnya “siapa elu”? “Lha wong cuma bubuk gorengan doang”. Jadi harus tahu dirilah sambil terkekeh saya coba introspeksi diri.
Masyarakat Khonghucu tidak pernah menyalahkan presiden Jokowi, paling-paling mereka menggerutu dengan mengatakan “ini sih pasti kerjaan orang-orang yang berada dekat dengan presiden yang memang tidak suka melihat masyarakat Khonghucu berjumpa dengan pemimpinnya.“
Ya sudahlah yang penting masyarakat Khonghucu selalu mendoakan Jokowi selalu sehat dan hebat dalam memimpin kita semua. Dengan berharap semoga Jokowi berubah sikap di periode kepemimpinan berikutnya.
Semoga “orang-orang terdekatnya” melihat positif terhadap masyarakat Khonghucu Indonesia. Yah kalau Presiden Jokowi tidak mau hadir juga tahun depan dan seterusnya? Ya sudah juga tidak mengapa, bukan soal yang urgensinya membahayakan juga bagi negara. Toh cuma tidak mau datang saja. “There is not a big deal”.
Ketika pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung Presiden Soekarno berkata : “Indonesia adalah bangsa yang besar, semua bangsa diatas kolong langit ini berkumpul disini, mereka juga memeluk semua agama-agama yang ada didunia ini yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, Shinto, Zoroaster dan lain-lain.
Soekarno memang selalu paling hebat ketika ia sedang mendeskripsikan soal Indonesia kita tercinta.
Seandainya saya bisa berjumpa beliau pada waktu sekarang. Ada satu pertanyaan ‘genit’ saya tanyakan kepada si Bung Besar ini : “Bung, coba ceritakan kepada saya perihal kecantikan Marlyn Monroe yang Bung temui ketika ke USA berjumpa Presiden Kennedy”. Apakah dia seperti deskripsi si ‘denok’ yang berada di Istana Bogor itu Bung?
KL, 11/5/2570 AC